Tumimbal Lahir
Manusia percaya bahwa ada sesuatu yang kekal di dalam dirinya. Sesuatu yang kekal ini diberi berbagai nama : Atta, Jiwa,Atman, Roh,Diri Sejati, Pribadi Luhur dan sebagainya. Sang buddha mengatakan; bahwa apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang kekal, semata-mata merupakan gabungan dari kelompok-kelompok energi batin-jasmani yang senantiasa berubah.
Sang Buddha bersabda:
“Badan jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran
dan kesadaran adalah lima khanda,
yang semuanya tidak memiliki inti diri yang kekal.
Bila khanda itu memiliki atta,
maka ia dapat berubah sekehendak atta itu dan tidak akan menderita,
karena semua keinginannya dapat dipenuhi misalnya,
‘Semoga khanda-ku begini dan begitu.’
Tetapi, karena khanda itu anatta,
maka ia tidak dapat berubah sekehendak atta itu
dan oleh sebab itu menderita, karena semua kehendak dan keinginannya tak dapat dipenuhi.
Misalnya, ‘ Semoga khanda-ku begini dan bukan begitu.’ “
( Vin. Mv. Kh. 1 ; cf. S. 22 : 59 ).
Anatta /Tiada inti diri adalah salah satu doktrin yang sangat penting dalam ajaran Buddha. Anatta adalah ajaran yang paling unik, yang diakui oleh banyak cendekiawan, membedakan ajaran Buddha terhadap agama-agama lainnya. Para cendekiawan menyatakan bahwa semua agama selain ajaran Buddha menerima adanya jiwa atau diri yang ada di dalam atau di luar makhluk hidup.
Donald Watson menulis, “Diantara agama-agama besar di dunia, hanya ajaran Buddha yang tidak mengakui keberadaan jiwa”.
Pelajar lainnya, Richard Kennedy menyatakan, “ Menurut ajaran Kristiani, Islam dan Yahudi, setiap jiwa akan dihakimi pada akhir zaman… Jiwa itulah yang menentukan apakah seseorang akan dihukum dalam Neraka atau di hadiahi kehidupan abadi di dalam Surga… Ajaran Buddha mengajarkan bahwa jiwa atau diri yang kekal itu tidak ada .”
Sekalipun doktrin Anatta adalah begitu penting, unik dan semestinya dipahami oleh umat Buddha, namun sampai saat ini dari seluruh ajaran Sang Buddha, doktrin inilah yang paling banyak disalahpahami dan paling banyak disalahtafsirkan, karena doktrin Anatta diajarkan oleh Sang Buddha dari sudut pandang seseorang yang telah mencapai pencerahan sempurna, pandangan yang melihat bahwa segala sesuatu adalah Anatta.
Sang Buddha bersabda :
“ Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti;
apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan,
Inilah jalan yang membawa pada kesucian .”
( Dhammapada XX ; 279 )
Kontroversi mengenai doktrin Anatta sepertinya didasari oleh rasa takut yang mendalam terhadap penolakan adanya jiwa. Manusia pada umumnya sangat melekat pada hidupnya, sehingga mereka cenderung untuk mempercayai adanya sesuatu yang bersifat tetap, kekal, abadi di dalam dirinya.
Bila ada orang yang mengatakan bahwa tiada sesuatupun yang kekal dalam diri mereka, tidak ada semacam jiwa dalam diri mereka yang akan berlangsung selamanya, mereka akan merasa ketakutan. Mereka bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan mereka di kehidupan mendatang, mereka takut menjadi musnah !.
Sang Buddha sangat memahami hal ini, seperti yang dapat kita lihat dalam cerita tentang Vacchagotta, yang seperti orang pada umumnya, takut dan bingung terhadap doktrin Anatta.
Vacchagotta adalah seorang pertapa yang pada suatu hari mengunjungi Sang Buddha untuk menanyakan beberapa hal penting. Dia bertanya kepada Sang Buddha, : “ Apakah atta (jiwa) itu ada ?.” Sang Buddha Diam. Kemudian, dia bertanya kembali,: “ Apakah atta itu tidak ada ?.” Namun Sang Buddha tetap diam.
Setelah Vacchagotta berlalu, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda, mengapa Ia telah bersikap diam. Sang Buddha menjelaskan bahwa Ia mengetahui Vacchagotta sedang mengalami kebingungan tentang atta, dan jika Ia menjawab bahwa atta itu ada, berarti Ia mengajarkan paham Eternalistik ( teori jiwa yang kekal ), yang tidak Ia setujui. dan, bila Ia menjawab bahwa atta itu tidak ada, maka Vacchagotta akan berpikir bahwa Sang Buddha mengajarkan paham Materialistik/Nihilisme ( paham yang mengajarkan bahwa makhluk hidup hanyalah suatu organisme batin-jasmani yang akan musnah total setelah kematian ).
Sang Buddha menolak paham materialistik, karena paham ini tidak sesuai dengan hukum kamma, tumimbal lahir dan hukum Sebab-Akibat yang saling bergantungan. Sebaliknya Sang Buddha mengajarkan bahwa manusia terlahir kembali dengan “Kesadaran yang berkesinambungan”. (patisandhi), yaitu kesadaran tumimbal lahir yang tidak berpindah dari kehidupan sebelumnya, melainkan timbul karena adanya berbagai kondisi dari kehidupan sebelumnya.
Jadi orang yang terlahir kembali bukanlah orang yang sama dengan yang telah meninggal, namun juga bukan orang yang sepenuhnya berbeda dengan yang telah meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar